ANALISIS NOVEL BUMI
MANUSIA DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK
1.
Sekilas tentang
Semiotik
Ilmu yang mempelajari tanda
dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai semiotika mengarahkan
dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima untuk kemudian bisa
digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri atau penting juga
dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan sosialnya. Menurut
Ferdinand De Sausurre semiology is a
science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai
suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan
yang sangat luas.
Ilmu yang mempelajari tanda
dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai semiotika mengarahkan
dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima untuk kemudian bisa
digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri atau penting juga
dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan sosialnya. Menurut
Ferdinand De Sausurre semiology is a
science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai
suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan
yang sangat luas.
Semiotika dapat dijadikan
sebuah pendekatan dalam melakukan analisis karya sastra. Sebuah karya sastra
entah puisi, prosa, atau drama menyajikan tanda-tanda yang dibalut dalam makna
bahasa yang digunakan. Setiap pembaca dapat mempunyai interpterasi yang berbeda
dalam memaknai satu tanda. Namun, semua itu dapat dibatasi oleh adanya
pemahaman dalam konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Misalnya, bila dalam karya
sastra disebutkan tentang lambang atau simbol “bendera kuning”, menurut orang
Indonesia bermakna ada orang yang meninggal atau “lampu lalu lintas (merah,
kuning, hijau) tentu sudah dipahami oleh orang Indonesia.
Bahasa sebagai media dalam
memahami karya sastra memiliki peran yang besar dalam memengaruhi pemikiran
pembaca. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah adanya bahasa.
Bahasa mempunyai kekuatan dalam kesosialan lingkungan. Dapat dikatakan bahasa
merupakan pranata sosial yang di dalamnya terdapat sistem nilai dalam
masyarakat. Begitu kuatnya pengaruh bahasa maka kalangan antropologis
mengungkapkan bahwa lambang bahasa menyiratkan adanya komunitas tertentu.
Artinya sebuah komunitas akan mempunyai tanda, simbol, lambang bahasa
tersendiri dalam komunikasinya baik lisan maupun tulisan. Karena itulah bahasa
merupakan hal terpenting dalam kajian atau telaah semiotika.
2. Pemaparan
Bumi
Manusia (BM)
merupakan salah satu mahakarya dari Pramoedya Ananta
Toer yang merupakan novel pertama dalam
tetralogi Pulau Buru. Kisah dalam BM berangkat dari abad ke-19 yang pada saat
itu masa kolonialisme Belanda masih menjajah di bumi pertiwi. Latar tempat
peristiwa banyak terjadi di Pulau Jawa tepatnya di Wonokromo, Surabaya, Jawa
Timur. Suasana zaman penjajahan yang menegangkan, mengharu biru, mencekam, dan
memprihatinkan melatari penggalan demi penggalan cerita, meskipun ada beberapa
penggalan yang menyentuh naluri percintaan.
Cerita
dalam BM diawalai dengan perkenalan
dari tokoh utama. Seorang laki-laki muda yang penuh semangat, nasionalis, dan
berwatak open minded. Minke sebutan
untuk tokoh utama itu yang berasal dari golongan bangsawan atau priyayi Jawa.
Jiwa pribumi begitu kental dalam dirinya. Meski dibesarkan dalam lingkungan
serba ada, ia ternyata tetap menjaga jarak dengan kaum darah biru, terutama
orang asing totok.
Sebagai
anak pribumi ia berhasil menyenyam bangku pendidikan di sekolah paling bergengsi
kala itu, HBS (Hogere Burger School).
Upaya itu ia lakukan agar keluar dari kerangka kolonialis yang feodalistis. Apa
lacur, tetap saja perlakuan padanya masih diskriminatif. Dirinya yang berasal
dari kaum terpandang dan masih bisa mendapatkan sokongan dari pemerintah
kolonial, dalam pergaulan tidak demikian. Saat pertama kali ia masuk sekolah
elite tersebut, ia harus menanggalkan pakaian keeropaannya dengan balutan
tradisi adat Jawa. Yang harus ia kenakan karena sesuai dengan latar belakang
asalnya yang notabene seorang pribumi. Selain itu, terlihat jelas dari namanya
“Minke” plesetan yang berasal dari “Monkey”, itu panggilan diskriminatif dari
rekan-rekan kolonialisnya. Panggilan yang bernada sentimen rasialis itu
sebenarnya bukan tanpa maksud dan makna. Tanda atau lambang itu bila dikaitkan
dengan tataran bahasa budaya Jawa akan terlihat maksudnya. Di dalam hierarki
berkomunikasi budaya Jawa dikenal adanya budaya berbahasa antarkelas.
Tatarannya adalah adanya bahasa krama inggil, krama madya, dan ngoko.
Dalam bekomunikasi krama inggil diucapkan seseorang berderajat sosial
lebih rendah kepada lawan bicara yang berstatus sosial lebih tinggi. Namun, lawan
bicara yang berderajat sosial tinggi cukup membalas dengan bahasa Jawa ngoko.
Dalm hal ini untuk penyebutan "kamu", (bahasa Jawa ngoko-nya
"kowe" yang berarti "anak monyet"). Kata monkey, kowe,
dan monyet setidaknya menjadi lambang pemisahan antargolongan dalam
cerita tersebut. Yaitu adanya jurang antara golongan bangsawan, Indo (campuran
pribumi dan asing), totok (asli Eropa), dan rakyat jelata atau pribumi.
Saat
bersekolah di HBS dia begitu kagum pada guru bahasa dan sastra Belanda, Magda
Peters. Ia adalah seorang perempuan Perancis penganut aliran etis serta sering
mengajarkan hakikat kebebasan manusia melalui karya sastra. BM
juga diwarnai oleh bumbu kisah percintaan Minke. Tokoh ini bertumbuh
menjadi lelaki dewasa setelah memadu kasih dengan Annelies Mellema. Gadis indo
terlahir dari rahim seorang nyai bernama Ontosoroh alias Sanikem yang “dijual”
oleh bapaknya kepada pembesar pabrik gula Tulangan, Sidoarjo bernama Herman
Mellema. Kehadiran Minke di tengah-tengah keluarga Mellema tak disukai Robert,
kakak Annelies. Pemuda peranakan Jawa-Belanda itu menunjukkan sikap antipati
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan yang namanya pribumi.
Dalam
kisah asmaranya dengan Annelies, ia dipertemukan oleh seorang nyai yang justru
ia kagumi karena kegigihan sang nyai. Meski dari kalangan pribumi, Sanikem atau
Nyai Ontosoroh adalah satu replika tokoh pribumi yang cerdas dan gigih. Bila
ditelaah lebih dalam, sosok nyai ini adalah perlambang pribumi yang tertindas
pada masa itu yang ditampilkan dalam sosok seorang perempuan nyai. Sebutan nyai
atau gundik disini berarti perempuan
simpanan atau yang dinikahi tidak secara sah artinya tidak secara hukum yang
pada akhirnya berimbas pada perlakuan hukum formal kolonialis bagi dirinya.
Keluarga Mellema tinggal di
sebuah rumah yang dijuluki Boerderij Buitenzorg. Sesungguhnya sebutan ini hanya bagian dari
simbol era kolonialisasi. Dalam pengertiannya Boerderij ‘istana’ Buitenzorg
‘bebas masalah atau kesulitan’ tak terletak di wilayah Wonokromo, Surabaya,
Jawa Timur. Nama itu lebih mengacu pada bangunan megah di pusat kota Bogor,
Jawa Barat, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Istana Bogor. Kondisi sosiokultur
masyarakat Jawa pada abad 19 masih erat menggenggam watak feodal sehingga
berakibat timbul sinisme terhadap sosok nyai-nyai, seperti Sanikem. Jangankan
masyarakat sekitarnya sudi melihat isi dan proses hidup sang nyai menghadapi
perilaku keluarga (terutama suami dan anak laki-laki) sebagai representasi
"negara", sinisme masyarakat justru meletakkan posisi Ontosoroh
sebagai seorang nyai. Nyai yang sudah disebutkan sebelumnya dianggap wanita
rendahan karena dinikahi tidak secara sah. Hanya simpanan kaum bangsawan Indo
atau totok.
Sosok Minke sebagai terpelajar
meskipun telah berusaha sekuat mungkin menghindari dan melawan sikap pemisahan
(segregasi) ras, lingkungan sosial tak pernah beranjak ke arah tatanan
masyarakat yang lebih humanis. Terbukti dari hukum positif formal
perkawinan versi kolonial menolak perkawinan Minke-Annelies yang dilakukan
secara Islam. Sistem pendidikan Eropa di luar kota kelahiran Minke, memang
mengakibatkan putusnya kelangsungan tradisi sebuah keluarga dalam kehidupannya.
Akan tetapi, itu tidak membuat Minke sepenuhnya memiliki identitas alternatif.
Setinggi apapun ia terangkat oleh pendidikannya, ia tetap seorang pribumi,
tetap warga negara kelas dua. Perkawinan Minke-Annelies dalam hukum Islam tidak
mampu melawan rasialisme antipribumi. Sikap masyarakat kolonial yang rasialis
merupakan simbol atas wujud adanya pemicingan terhadap kedaulatan sang pribumi.
Hal serupa dibuktikan ketika Nyai Ontosoroh dan
Annelies dipanggil pihak pengadilan
yang melanjutkan gugatan tentang hak waris dan pemeliharaan anak dari
pengadilan di Amsterdam. Peristiwa itu diawali dari kedatangan Maurits Mellema,
anak sah (dalam versi hukum perkawinan kolonial Belanda) dengan Herman
Mellema. Herman Mellema mempunyai anak
dan istri di negara asalnya, akan tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan
mempunyai anak pula. Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh
dengan Herman Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis.
Pengadilan memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan
Maurits Mellema. Namun, harta benda di pabrik itu
sebenarnya adalah hasil jerih payah Ontosoroh dan Annelies. Herman dan Robert
Mellema tak banyak ikut campur. Bapak-anak itu terjebak atau mungkin sengaja
menenggelamkan diri dalam rumah pelacuran miring tokoh Tonghoa, Baba Ah Tjong. Sistem pengadilan
saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema
harus di bawa Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, tetapi
hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu kandungnya dan
suaminya.
Sungguh
ironis, orang asli yang sah mempunyai bumi kelahiran tidak bisa berlaku
apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan ibu dan anak, suami dan istri.
Hukum buatan manusia rasis yang semena-mena dan lunturnya kemanusiaan yang
menyentuh sampai di dasar hati. Novel bergenre satire ini memaparkan
coreng-morengnya bumi yang dihuni oleh makhluk bernama manusia. Kiranya kita
bisa memetik pelajaran moral dari novel ini .
“Apakah BM seolah
menjadi cermin tentang sikap masyarakat dan negara terhadap hukum perkawinan
maupun hukum waris seperti saat ini? Rupanya, negara saat itu telah ikut campur
dalam urusan perkawinan maupun hak waris. Bukan lagi dalam term antiras pribumi
nusantara, tetapi lebih pada upaya politisasi legal formal sebuah perkawinan
atau hak waris.”
Daftar Rujukan
Toer, Pramoedya, Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera
Dipantara.
Zamzamah, Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam
Berhala”, Tonil, volume 1, nonor
1,
November.
http://c2o-library.net/catalogue/antropologizmo/details/29413.html
Luar Biasa...
BalasHapus