Senin, 06 Februari 2012

Pendekatan Semiotik Novel


ANALISIS  NOVEL  BUMI MANUSIA  DENGAN PENDEKATAN  SEMIOTIK


         1.       Sekilas tentang Semiotik

Ilmu yang mempelajari tanda dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai semiotika mengarahkan dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima untuk kemudian bisa digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri atau penting juga dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan sosialnya. Menurut Ferdinand De Sausurre semiology is a science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan yang sangat luas.
Ilmu yang mempelajari tanda dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai semiotika mengarahkan dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima untuk kemudian bisa digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri atau penting juga dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan sosialnya. Menurut Ferdinand De Sausurre semiology is a science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan yang sangat luas.
Semiotika dapat dijadikan sebuah pendekatan dalam melakukan analisis karya sastra. Sebuah karya sastra entah puisi, prosa, atau drama menyajikan tanda-tanda yang dibalut dalam makna bahasa yang digunakan. Setiap pembaca dapat mempunyai interpterasi yang berbeda dalam memaknai satu tanda. Namun, semua itu dapat dibatasi oleh adanya pemahaman dalam konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Misalnya, bila dalam karya sastra disebutkan tentang lambang atau simbol “bendera kuning”, menurut orang Indonesia bermakna ada orang yang meninggal atau “lampu lalu lintas (merah, kuning, hijau) tentu sudah dipahami oleh orang Indonesia.
Bahasa sebagai media dalam memahami karya sastra memiliki peran yang besar dalam memengaruhi pemikiran pembaca. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah adanya bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dalam kesosialan lingkungan. Dapat dikatakan bahasa merupakan pranata sosial yang di dalamnya terdapat sistem nilai dalam masyarakat. Begitu kuatnya pengaruh bahasa maka kalangan antropologis mengungkapkan bahwa lambang bahasa menyiratkan adanya komunitas tertentu. Artinya sebuah komunitas akan mempunyai tanda, simbol, lambang bahasa tersendiri dalam komunikasinya baik lisan maupun tulisan. Karena itulah bahasa merupakan hal terpenting dalam kajian atau telaah semiotika.

2.   Pemaparan
Bumi Manusia (BM) merupakan salah satu mahakarya dari Pramoedya Ananta
Toer yang merupakan novel pertama dalam tetralogi Pulau Buru. Kisah dalam BM  berangkat dari abad ke-19 yang pada saat itu masa kolonialisme Belanda masih menjajah di bumi pertiwi. Latar tempat peristiwa banyak terjadi di Pulau Jawa tepatnya di Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Suasana zaman penjajahan yang menegangkan, mengharu biru, mencekam, dan memprihatinkan melatari penggalan demi penggalan cerita, meskipun ada beberapa penggalan yang menyentuh naluri percintaan.
            Cerita dalam BM diawalai dengan perkenalan dari tokoh utama. Seorang laki-laki muda yang penuh semangat, nasionalis, dan berwatak open minded. Minke sebutan untuk tokoh utama itu yang berasal dari golongan bangsawan atau priyayi Jawa. Jiwa pribumi begitu kental dalam dirinya. Meski dibesarkan dalam lingkungan serba ada, ia ternyata tetap menjaga jarak dengan kaum darah biru, terutama orang asing totok.
            Sebagai anak pribumi ia berhasil menyenyam bangku pendidikan di sekolah paling bergengsi kala itu, HBS (Hogere Burger School). Upaya itu ia lakukan agar keluar dari kerangka kolonialis yang feodalistis. Apa lacur, tetap saja perlakuan padanya masih diskriminatif. Dirinya yang berasal dari kaum terpandang dan masih bisa mendapatkan sokongan dari pemerintah kolonial, dalam pergaulan tidak demikian. Saat pertama kali ia masuk sekolah elite tersebut, ia harus menanggalkan pakaian keeropaannya dengan balutan tradisi adat Jawa. Yang harus ia kenakan karena sesuai dengan latar belakang asalnya yang notabene seorang pribumi. Selain itu, terlihat jelas dari namanya “Minke” plesetan yang berasal dari “Monkey”, itu panggilan diskriminatif dari rekan-rekan kolonialisnya. Panggilan yang bernada sentimen rasialis itu sebenarnya bukan tanpa maksud dan makna. Tanda atau lambang itu bila dikaitkan dengan tataran bahasa budaya Jawa akan terlihat maksudnya. Di dalam hierarki berkomunikasi budaya Jawa dikenal adanya budaya berbahasa antarkelas. Tatarannya adalah adanya bahasa krama inggil, krama madya, dan ngoko. Dalam bekomunikasi krama inggil diucapkan seseorang berderajat sosial lebih rendah kepada lawan bicara yang berstatus sosial lebih tinggi. Namun, lawan bicara yang berderajat sosial tinggi cukup membalas dengan bahasa Jawa ngoko. Dalm hal ini untuk penyebutan "kamu", (bahasa Jawa ngoko-nya "kowe" yang berarti "anak monyet"). Kata monkey, kowe, dan monyet setidaknya menjadi lambang pemisahan antargolongan dalam cerita tersebut. Yaitu adanya jurang antara golongan bangsawan, Indo (campuran pribumi dan asing), totok (asli Eropa), dan rakyat jelata atau pribumi.
            Saat bersekolah di HBS dia begitu kagum pada guru bahasa dan sastra Belanda, Magda Peters. Ia adalah seorang perempuan Perancis penganut aliran etis serta sering mengajarkan hakikat kebebasan manusia melalui karya sastra. BM juga diwarnai oleh bumbu kisah percintaan Minke. Tokoh ini bertumbuh menjadi lelaki dewasa setelah memadu kasih dengan Annelies Mellema. Gadis indo terlahir dari rahim seorang nyai bernama Ontosoroh alias Sanikem yang “dijual” oleh bapaknya kepada pembesar pabrik gula Tulangan, Sidoarjo bernama Herman Mellema. Kehadiran Minke di tengah-tengah keluarga Mellema tak disukai Robert, kakak Annelies. Pemuda peranakan Jawa-Belanda itu menunjukkan sikap antipati terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan yang namanya pribumi.
            Dalam kisah asmaranya dengan Annelies, ia dipertemukan oleh seorang nyai yang justru ia kagumi karena kegigihan sang nyai. Meski dari kalangan pribumi, Sanikem atau Nyai Ontosoroh adalah satu replika tokoh pribumi yang cerdas dan gigih. Bila ditelaah lebih dalam, sosok nyai ini adalah perlambang pribumi yang tertindas pada masa itu yang ditampilkan dalam sosok seorang perempuan nyai. Sebutan nyai atau gundik disini berarti perempuan simpanan atau yang dinikahi tidak secara sah artinya tidak secara hukum yang pada akhirnya berimbas pada perlakuan hukum formal kolonialis bagi dirinya.
Keluarga Mellema tinggal di sebuah rumah yang dijuluki Boerderij Buitenzorg.  Sesungguhnya sebutan ini hanya bagian dari simbol era kolonialisasi. Dalam pengertiannya Boerderij ‘istana’ Buitenzorg ‘bebas masalah atau kesulitan’ tak terletak di wilayah Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Nama itu lebih mengacu pada bangunan megah di pusat kota Bogor, Jawa Barat, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Istana Bogor. Kondisi sosiokultur masyarakat Jawa pada abad 19 masih erat menggenggam watak feodal sehingga berakibat timbul sinisme terhadap sosok nyai-nyai, seperti Sanikem. Jangankan masyarakat sekitarnya sudi melihat isi dan proses hidup sang nyai menghadapi perilaku keluarga (terutama suami dan anak laki-laki) sebagai representasi "negara", sinisme masyarakat justru meletakkan posisi Ontosoroh sebagai seorang nyai. Nyai yang sudah disebutkan sebelumnya dianggap wanita rendahan karena dinikahi tidak secara sah. Hanya simpanan kaum bangsawan Indo atau totok.
Sosok Minke sebagai terpelajar meskipun telah berusaha sekuat mungkin menghindari dan melawan sikap pemisahan (segregasi) ras, lingkungan sosial tak pernah beranjak ke arah tatanan masyarakat yang lebih humanis.  Terbukti dari hukum positif formal perkawinan versi kolonial menolak perkawinan Minke-Annelies yang dilakukan secara Islam. Sistem pendidikan Eropa di luar kota kelahiran Minke, memang mengakibatkan putusnya kelangsungan tradisi sebuah keluarga dalam kehidupannya. Akan tetapi, itu tidak membuat Minke sepenuhnya memiliki identitas alternatif. Setinggi apapun ia terangkat oleh pendidikannya, ia tetap seorang pribumi, tetap warga negara kelas dua. Perkawinan Minke-Annelies dalam hukum Islam tidak mampu melawan rasialisme antipribumi. Sikap masyarakat kolonial yang rasialis merupakan simbol atas wujud adanya pemicingan terhadap kedaulatan sang pribumi.
Hal serupa dibuktikan ketika Nyai Ontosoroh dan Annelies dipanggil pihak    pengadilan yang melanjutkan gugatan tentang hak waris dan pemeliharaan anak dari pengadilan di Amsterdam. Peristiwa itu diawali dari kedatangan Maurits Mellema, anak sah (dalam versi hukum perkawinan kolonial Belanda) dengan Herman Mellema.  Herman Mellema mempunyai anak dan istri di negara asalnya, akan tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan mempunyai anak pula. Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis. Pengadilan memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan Maurits Mellema. Namun, harta benda di pabrik itu sebenarnya adalah hasil jerih payah Ontosoroh dan Annelies. Herman dan Robert Mellema tak banyak ikut campur. Bapak-anak itu terjebak atau mungkin sengaja menenggelamkan diri dalam rumah pelacuran miring tokoh Tonghoa, Baba Ah Tjong. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, tetapi hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu kandungnya dan suaminya.     
            Sungguh ironis, orang asli yang sah mempunyai bumi kelahiran tidak bisa berlaku apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan ibu dan anak, suami dan istri. Hukum buatan manusia rasis yang semena-mena dan lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai di dasar hati. Novel bergenre satire ini memaparkan coreng-morengnya bumi yang dihuni oleh makhluk bernama manusia. Kiranya kita bisa memetik pelajaran moral dari novel ini .
“Apakah BM seolah menjadi cermin tentang sikap masyarakat dan negara terhadap hukum perkawinan maupun hukum waris seperti saat ini? Rupanya, negara saat itu telah ikut campur dalam urusan perkawinan maupun hak waris. Bukan lagi dalam term antiras pribumi nusantara, tetapi lebih pada upaya politisasi legal formal sebuah perkawinan atau hak waris.”
Daftar Rujukan
Toer, Pramoedya, Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Zamzamah, Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam Berhala”, Tonil, volume 1, nonor 1, 
        November.
http://c2o-library.net/catalogue/antropologizmo/details/29413.html

1 komentar: